Kehidupan pasar, Jum'at pagi (saat hukum masih lelap !!)

Ayam masih terlelap dan terlalu pagi untuk berkokok. Ibu tua menggendong keranjang sayur sambil sesekali membetulkan balutan selendang, jalanan menjadi ladang yang buah-buahan bertuan sila. Hilir mudik mobil penuh ubi-ubian merengsek masuk, mencoba mencari celah masuk diantara hilir mudik pedagang. di pojok para lelaki asyik minum kopi sambil sesekali berteriak lantang mendukung jagoan mereka ( mereka sedang menonton tinju) sambil menunggu bini mereka menawar sayur ( murah masih ditawar - orang indonesia). Bakul warung mencoba bertahan dari serangan kantuk yang kian hebat, meskipun jam sudah membawa waktu menuju pagi ( dia kelelahan karena tadi malam masak). Aku berada di tengah pasar, diwarung yang hanya beratap plastik, bertiang bambu, dan bercahaya api minyak. Penjualnya lelaki yang hampir tua ( tidak jelas karena lampu begitu temaram), menu yang ada hanya nasi tikus ( sebenarnya nasi kucing tetapi dibandingkan dengan nasi kucing yang biasa aku makan nasi ini terlalu kecil lagi),tempe goreng, tahu isi goreng, dan ubi goreng. Masih bersama pagi dan layanan muram penjaja warung.

Pagi ini hukum dan lalulintas masih lelap tertidur. yang ada hanya aturan main para pedagang, dan penanak nasi. saat itu negara untuk sejenak berhukum nurani, berpasal ocehan tawar -menawar penjaja, dan berlambang hijaunya sayur-mayur kehidupan. Tenang dengan damai, damai bersama tenang, meski saat itu suara radio kalah dengan teriakan kaum kuli bersama angkatan. Ah !!! bagaimana lagi menggambarkan kedamaian pagi ini. Dan bagaimana lagi menggambarkan indahnya hukum di pasar. Dan kurasakan negara telah lenyap meski seketika, tapi bukan penyesalan melainkan kedamaian. Entah mengapa??

"Meski kau mengagumi dan memuja matahari, tetapi jangan terlalu dekat dan sering kau berjumpa dengan dia." aku lupa ini kata - kata siapa, namun yang terjadi sekarang adalah bahwa aku tidak lupoa dengan apa ytang terjadi dengan negeri ini. Dulu saat mereka berpanggung dan menyanyi layaknya pengamen demi sebuah receh dukungan. Kau menyebut dirimu mentari yang memberi kami klehidupan. Dan kita berbondong menyanjung, mendukung dan menawarkan jasa. Terlalu dekat aku hingga kini aku silau dengan kehebatan mereka menipu kami (aku) saat mereka turun panggung dan tinggal menghitung suara dukungan.Yah!!! mereka terlalu sibuk dengan hitungan itu, hingga kami masih kepanasan di lapangan.

Harus bagaiman...?? mendingan pasar ini masih pagi, hingga aku dan mereka yang sampai aku menulis bisa menikmati hukum pasar pagi, biarlah kami sendiri yang menentukan, biarlah kami sendiri yang mengatur, dan biarkan kami juga yang menyadari. Jangan kau sebut kami pemberontak karena malas menjemput sinar mu, pahamilah bahwa saat sinarmu datang pasar ini akan sudah sepi,hanya tinggal sampah sayur-mayur dan semoga kau mau mengais jika kau butuh. Sadarilah jika kami hanya bisa mengambil uang jika engkau belum datang. Maaf bagi engkau yang menyebut mentari, karena kamu hanya butuh makan dan bersua dengan tuhan kami. Lelah kami melihat aturan main yang kau jalankan di jalan yang pada pagi hari kami gunakan untuk jualan ikan dan tomat. Biarkan kami sejenak menikmati pagi ini. Dan aku menikmati bersama es teh, nasi kucing serta 3 gorengan karena aku hanya punya Rp.3000,- untuk semua itu



jum'at 16/11/07 03.00 pasar besar madiun.

Komentar