Di sini saat sendiri membaca garis garis nasib dengan awan di angkasa
Berdiri di atas bukit yang jauh dari dera manusia
Berjubah embun pagi yang turun dengan lembut dan akhirnya menyatukan dirinya dengan rumput – rumput yang manis.
Mata yang sembab ini masih juga berurai dengan air kesucian yang sedih.
Ada janji yang masih tergenggam dengan erat pada tangan lusuh oleh tanah galian.
Ada ungkapan yang terusik kekalutan sinar matahari pagi yang kan menampakkan diri dengan malu – malu.
Masih basah……………….
Masih merah………………
Tanah kubur hatiku yang tadi mencoba membunuh ku dengan rasa cintaku.
Terbayang jelas betapa kejam nya rasa itu menghunus dan mencoba menikam dengan pedang kerinduan ku.
Saat itu darah ku benar – benar hilang lari entah kemana demi ketakutan ku.
Burung
– burung merpati, nuri, bahkan elang yang gagah pun menjerit keras
mendapati diriku hanya bisa berlari menghamburkan(diri)ke alang – alang
demi sebuah nyawa kehormatan.
Angan indah tengelam di derasnya keringat yang melompat
Sampai huruf – huruf ini terbentuk menjadi kata dan akhirnya menjadikan nya puisi indah….
Ada kekalutan yang terhempas dalam hati yang paling dalam
Dalam kubur itu.
Masih dengan desiran angin yang mencoba membelai raga tanpa rasa.
Aku benar – benar menangis meratapi kepergian rasa dan hati penompang kehidupan.
Masih dengan desiran angin yang mencoba merayu dan membujuk
Ketakutan ini benar benar telah menyatu dengan langkah
Hingga akhirnya mengubah arah keberanian ku menjadi pengecut bertopeng kesatria.
Saat aku turun dari bukit saksi pembunuhan hati.
Aku kembali di hadapkan pada ketakutan yang luar biasa.
Mungkin kah sahabat akan menceritakan keadaan ini pada dunia?
Komentar